Ticker

6/recent/ticker-posts

Kolom A. Najib

JAKARTA (17/08) || grhaputih.com

Renungan Kemerdekaan

Hari ini, 17 Agustus, 78 tahun yang lalu, resmi kita mendeklarasikan kemerdekaan sebagai bangsa, Bangsa Indonesia. Sebuah pencapaian dari sebuah perjalanan panjang perjuangan dan kesadaran. Sejarah akan perjuangan bangsa ini mungkin sudah sering kita ketahui. Tapi sejarah kesadaran ini yang sering terlupakan. Padahal seperti yang dikatakan Aristoteles, martabat bukan karena didapat dari kehormatan, tapi dari kesadaran kita karena kita memang berhak memiliki martabat itu. 

Dan martabat itu adalah kemerdekaan. 

Kesadaran lah yang menggerakkan kita untuk berjuang jiwa raga meraih kemerdekaan. Dalam konteks sejarah perkembangan kesadaran ini, menurut perspektif Paulo Freire , pakar pedagogi asal Brazil, ada tiga tingkatan kesadaran. 

Yang pertama adalah kesadaran magis. Merupakan kesadaran yang paling rendah, yang memandang bahwa hidup ini semata hanya menjalankan takdir yang sudah digariskan oleh yang dianggapnya superior, mistis, dan tak terjangkau oleh indera maupun pikiran manusia. Paulo Freire mencontohkan bagaimana serombongan budak di Brazil ketika dimerdekakan. Mereka bukan mencari hidup baru di dunia merdeka, tapi mencari tuan baru untuk kembali menjadi budak. 

Pada tahap perkembangan kesadaran ini, bangsa kita juga menganggap bahwa penjajahan itu sesuatu yang lumrah saja. Manusia lahir sudah membawa nasib dan tugas nya sendiri. Yang terlahir menjadi raja akan jadi raja, yang terlahir jelata akan menjadi jelata, yang tertindas akan terus tertindas, dab yang terjajah akan terus terjajah. 

Tahap kedua adalah kesadaran naif. Pada tahap ini bisa disebut tahap intransitif karena sudah mulai mampu mendialogkan kondisi ketertindasan dengan yang lain, namun belum mempu memahami kompleksitas masalah yang sebenarnya. 

Pada tahap kesadaran ini, penjajahan diindentifikasikan secara fisik; penjajahan adalah penindasan yang dilakukan oleh bangsa asing atas pribumi, oleh orang kafir atas orang muslim. Maka perlawanan pun dilakukan secara sporadis, dari Sultan Nuku hingga Pangeran Diponegoro. Dari Sultan Hasanuddin hingga Pattimura. Dari Teuku Umar hingga Sisingamangaraja. Dan seterusnya yang tak terbilang jumlahnya. Dari satu peperangan ke peperangan berikutnya hingga berabad abad. 

Tahap kesadaran tertinggi adalah kesadaran kritis. Pada tahap ini, manusia sudah bisa berpikir dan bertindak sebagai subjek yang mampu memahami realitas dengan segala kompleksitasnya. Yang menurut Freire sebagai kesadaran yang tidak bisa dipaksakan atau ditanamkan tapi dilahirkan lewat usaha kreatif dari dalam diri sendiri. 

Pada tahap kesadaran ini, bangsa kita mulai mengidentifikasikan kompleksitas penjajahan sebagai sebuah sistem. Oleh karena itu, perlawanan pun harus dengan sistem. Maka lahirlah beragam organisasi dengan satu tujuan: merdeka. Mulai dari Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Celebes, Jong Islamitten Bond, dan beragam syarikat dengan beragam usaha kreatif yang kelak mengantarkan bangsa ini meraih kehormatannya; merdeka. 

Puncaknya terjadi di tahun 1928 ketika para pemuda yang tergabung dalam ragam organisasi maupun syarikat itu mengikrarkan sumpah setia sebagai bangsa yang bernama Indonesia. Inilah yang kita kenal sebagai Soempah Pemoeda 1928.

Tidak perlu waktu berabad untuk merdeka, karena 17 tahun setelah itu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 

Memang tidak semua orang pada saat yang sama memiliki kesadaran kritis yang nembuka pintu kemerdekaan Indonesia. Bahkan sering kesadaran ini justru surut, mengalami regresi dan turun ke kesadaran yang primitif lagi. Namun ikhtiar sekelompok orang yang memiliki kesadaran kritis ini lah yang kemudian mengubah perjalanan sejarah bangsa. Tanpa kesadaran kritis yang tidak dimilik setiap orang, mustahil terbuka jalan buat bangsa ini untuk merdeka. Kata Arnold Toynbee, yang mengubah sejarah itu kelompok minoritas kreatif. Seperti para pemuda yang nekad melakukan sumpah dan menproklamirkan republik ini. 

Kini setelah 78 tahun kita merdeka, patut kita renungkan akan eksistensi kesadaran kritis kita agar tidak tegeser turun ke kesadaran yang lebih rendah. Tidak mudah memang. Karena dalam situasi sekarang dimana demokrasi dan kebebasan sudah sedemikian longgar nya, justru dimanfaatkan oleh oknum yang mengaku sebagai pemimpin, spiritualis, akademisi, dll untuk mendegradasikan kesadaran kritis ini. Disinformasi dan hoax di ragam kanal dan  platform media juga ditujukan agar kesadaran kritis kita menjadi regresif. 

Mengisi kemerdekaan harus terus progresif dengan tetap memelihara kesadaran kritis kita. 

Tetap semangat dan MERDEKA..!!!(gp/tim)

Posting Komentar

0 Komentar