Ticker

6/recent/ticker-posts

kolom A. Najib

JAKARTA || grhaputih.com

D E B A T

Tidak ada demokrasi tanpa debat. Debat adalah salah satu bentuk kebebasan ekspresi untuk menyatakan pendapat. Tentunya bukan debat kusir atau arguing. Debat yang baik itu bukan untuk tujuan kalah dan menang, tapi untuk memperkaya argumentasi. Debat yang baik itu bisa mengatasi argumen yang buruk dan tercela dengan menggunakan platform yang berbasis pada semua keterampilan intelektual, forensik maupun retorik. 

Secara historis, debat sudah ada sejak zaman Yunani kuno dan budaya pemikir India kuno. Socrates sangat lihai mengungkap pikiran dan asumsi bawah sadar lawan bicaranya yang seringkali melenceng dengan teknik debat yang baik.

Di masa Romawi kuno pun debat sudah menjadi bagian dari aktivitas kenegaraan terutama saat pengambilan putusan di senat. 

Di era modern, lahirnya negara demokrasi tidak lepas dari yang namanya debat. Tujuannya selain merencanakan platform negara juga untuk merancang konstitusi. Semua dilalui lewat perdebatan para pendiri bangsanya. Di Amerika Serikat, perencanaan konstitusi dilakukan di Philadelphia Pennsylvania, tepatnya di Constitution House yang sekarang dijadikan museum. Pengunjung bisa melihat proses bagaimana konstitusi dan deklarasi kemerdekaan (Declaration of independence) dibuat lewat proses yang panjang. Kisahnya, di saat John Adams dan George Washington berperang mengusir tentara Inggris, sekelompok orang yang merupakan utusan dari pelbagai negara bagian (state) berkumpul membicarakan bentuk negara kelak. Kelompok ini dipimpin oleh Benjamin Franklin yang kelak menjadi Presiden Amerika Serikat yang ketiga. Dalam museum ini juga ada display ruang debat yang bisa dipake simulasi pelajar yang berkunjung untuk mereplikasi debat para founding fathers nya. 

Debat sudah menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi. Tidak hanya konsumsi parlemen saja, debat juga untuk konsumsi publik untuk calon pejabat negaranya. Di tahun 1858 ada perdebatan menarik untuk perebutan posisi Senat Illinois antara Abraham Lincoln versus Stephen Douglas, lantaran keterampilan dan ketepatan retorika mereka. Olah verbal mereka menginspirasi debat debat publik untuk calon pejabat sipil di setiap siklus pemilu di seluruh dunia hingga hari ini. Dan pada masa selanjutnya, Amerika Serikat banyak melahirkan pemimpin yang juga orator ulung seperti John F. Kennedy hingga Barrack Obama.

Di Indonesia, tradisi berdebat sebenarnya sudah lama ada. Dan Indonesia ini sendiri platform nya lahir dari hasil perdebatan bapak bangsa kita di forum yang dibentuk penjajah Jepang, Dokoritsu Zyubai Tyoosakai, 29 April 1945, atau Badan Penyidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Elemen bangsa dari beragam latar belakang kemajemukan Indonesia berkumpul dan berdebat disini untuk membuat platform Indonesia ke depan hingga melahirkan naskah Undang Undang Dasar yang kita kenal hari ini. 
Hasil dari pemilu Indonesia pertama adalah majelis konstituante. Sebetulnya dalam majelis ini diharapkan ada penyempurnaan konstitusi kita yang dibuat dengan sangat singkat. Terlepas dari latar belakang ideologi para pesertanya yang merupakan perwakilan partai yang lolos seleksi pemilu 1955, terdapat perdebatan yang seru dalam forum ini. Meski harus disayangkan karena perdebatan ini berhenti akibat dekrit Presiden Sukarno yang mengembalikan UUD 45.  Konstituante pun berakhir. Dan sejak itu, Indonesia yang sedang dalam masa formasi mengalami gejolak baik akibat internal maupun eksternal yang ingin merongrong kedaulatan negara. 

Debat dalam bentuk karya tulis yang bernama polemik pun pernah terjadi di negeri ini. Saat lahirnya gerakan Poejangga Baroe di tahun 1930an setelah lahirnya Sunpah Pemuda. Pada masa ini juga terjadi polemik kebudayaan yang menawarkan bentuk ideal negara Indonesia di masa mendatang dari aspek budaya. 

Sayangnya kemudian, di masa otoritarianisme orde baru, kebebasan bersuara dibatasi bahkan dihanguskan. Ada parlemen, tapi hanya berfungsi sebagai tukang stempel yang kerjanya hanya manggut manggut. Jangan harap ada perdebatan yang seru. Sekedar bersuara miring pun langsung disetrap. Sri Bintang Pamungkas termasuk salah satu korban setrap di parlemen. 

Setelah 32 tahun masa sunyi tanpa debat, reformasi menumbangkan rezim militeristik yang anti kritik, terjadi liberalisasi politik dengan pemilihan Presiden langsung, debat mulai dihidupkan. Pilpres langsung pertama tahun 2004 mulai ada debat antar kandidat Presiden dan kandidat wakil Presiden. Lumayan seru. Dan stasiun TV pun banyak menikmati ratung tinggi acara debat capres. Ini menunjukkan betapa antusias nya publik terhadap debat yang berbobot. Seharusnya debat publik juga menjadi keharusan di perhelatan Pilkada di semua tingkat. 

Debat publik tentunya bukan sekedar tontonan, tapi juga sebagai medium publik untuk mengetahui isi kepala calon pemimpinnya. Biar tidak seperti membeli kucing dalam karung. 

Maka sangat disayangkan saat publik sudah semakin dewasa, dan demokrasi sudah semakin matang, justru ada yang mulai regresif, mundur ke belakang, dengan menghindari debat publik, padahal dia seorang calon wakil Presiden di negeri Konoha. 

Saya tidak berprasangka buruk pada cawapres muda yang enggan berdebat ini. Mungkin saja dia sudah tahu resiko berdebat seperti yang dialami filusuf dan orator Romawi, Cicero yang mendebat bangsawan Cattilini. Keduanya berakhir tragis. 

Tapi itu terjadi di masa lalu. Masa selanjutnya tidak pernah ada kandidat Presiden yang tewas akibat berdebat. (tim/gp).


Posting Komentar

0 Komentar